BEYOND POSITIVISM TRADITION IN TACKLING CORRUPTION IN INDONESIA: DEVELOPING THE LAW WITH MAKRIFAT DIMENSION

Authors

  • Ryan Saputra Alam Universitas Boswa
  • Henry D. P. Sinaga Law Doctoral Program of Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

DOI:

https://doi.org/10.56282/sar.v1i1.140

Keywords:

Positivism, Makrifat, Law, Corruption, Public Finance

Abstract

Implikasi tidak menguntungkan paradoks dan kontradiksi keuangan negara baik dalam pemikiran dan empirisnya di Indonesia, yang erat kaitannya dengan peminggiran keadilan substantive dan pengabaian peranan human spiritual quotient dalam hukum, mengakibatkan massive-nya korupsi yang ternyata telah melibatkan oknum pada beberapa elemen masyarakat. Hal ini tidak dapat terlepas dari sistim civil law yang dianut di Indonesia yang cenderung mengideologikan tradisi positivism, padahal setiap manusia Indonesia diberi makrifat (transcendental) area, sebagaimana dasar negara dan konstitusi telah mengamanatkan bahwa negara Indonesia adalah negara hokum yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan studi yuridis normative, dihasilkan 2 (dua) kesimpulan. Pertama, hokum keuangan negara yang layak dalam penanganan korupsi di Indonesia harus melampaui tradisi positivisme karena absurd-nya pengertian kerugian negara dan dualisme perlakuan kerugian keuangan negara, sehingga setiap manusia yang terlibat dalam hal keuangan negara tidak bisa serta merta hanya diobjektifkan dan direduksi oleh hokum sebagaimana layaknya positivism yang dalam wilayah-wilayah ilmu alam harus selalu mengkontrol objek. Hukum berada di wilayah sosial yang sangat membutuhkan pemahaman yang saling timbal balik dengan manusia dan kemanusiaan. Kedua, perlu pengembangan hukum berdimensi makrifat dalam menanggulangi korupsi di Indonesia melalui sintesis a priori dengan a posteriori pada aparatur negara yang tentunya harus memegang teguh Shari’ah  sebagai system komprehensif dalam dalam menuntun pelaksanaan tugas, tanggung jawab, dan penegakan hokum keuangan negara dan ketika melakukan tindakan solutif terhadap keterbatasan undang-undang tertulis yang berlaku. Tugas, tanggung jawab, dan penegakan hokum yang dapat menjamin keadilan substantive maupun daya gunanya hanya dapat dilakukan sepanjang pelaksanaannya berdasarkan perspektif makrifat dengan segala aspek kapasitas nuraninya, yakni yang tidak mengabaikan hal keagamaan, etika, dan moral, karena di dalamnya melekat kejujuran, empati, dedikasi, dan spiritual quotient.

Downloads

Published

2023-02-19